Selamat Malam, di bulan Ramadhan Alhamdulillah kali ini bisa posting lagi
semoga apa saja yang kita lakukan menjadi bermanfaat dan barokah ammin. Sedikit
ulasan saya terhadap tulisan Ibu Amalia Maulana di salah satu media portal
indonesia.
Dalam pengololaan
sebuah kota tentunya kita tak bisa lepas dari berbagai fasilitas yang di
suguhkan kepada masyarakat. Fasilitas umum yang telah banyak kita jumpai
seperti tempat duduk umum sampai fasilitas yang lebih besar, alun-alun
contohnya. Dalam penyediaan fasilitas umum tentunya kita di tuntut untuk
dapat memberikan manfaat dari fasilitas yang kita “suguhkan”. Sperti yang
dikatakan oleh ibu Amalia melalui tulisanya di koran Sindo : “Innovation
bermakna sebuah temuan baru yang mempertimbangkan aspek komersialisasi dan
kegunaan bagi audiensnya nanti.” Beliau menjelaskan tentang bagaimana
seorang pengelola kota atau peranan sebuah fasilitas umum dalam memberikan
benefit kepada masyarakatnya.
Benefit yang tidak dimiliki
oleh fasilitas umum akan memberikan kesalah faham-an kepada audiens/publiknya. Dan
walhasil ini terjadi ketika beliau duduk-duduk di salah satu tempat fasilitas
umum di sebuah kota yang akhirnya ditegur oleh pengelola kota tersebut karena
beliau dianggap tidak menuruti peraturan dalam kota tersebut.
“Merasa bahwa anak saya bukan satu-satunya
yang duduk di batu, saya kemudian menelusuri semua foto-foto yang diambil sore
hari tersebut di area yang sama. Dan, memang terbukti. Lebih dari lima orang
yang duduk di batu di tempat yang berbeda. Jadi, apakah yang spontan duduk di
batu yang patut dipersalahkan atau si pembuat disain eksterior tersebut yang
perlu berpikir ulang terhadap disain batunya? Kata beliau dalam tulisannya,
(Sindo
: Kamis, 25 Juni 2015 −
10:14 WIB).
Pada saat konsumen mempunyai
banyak pilihan di zaman hiperkompetitif seperti sekarang ini, sangat riskan
bagi seorang kreator yang hanya onesided memikirkan dari perspektif dirinya
sendiri. Ia perlu memasukkan aspek komersialisasi dalam proses kreasinya. Seorang
fashion designer boleh saja tetap insist tentang sebuah desain yang menurutnya
supercool , tetapi jika orang lain tidak mempunyai apresiasi atau pandangan
yang sama, desainnya akan berujung menjadi sebuah masterpiece yang dikurung
dalam sebuah kotak kaca saja. (Sindo : Kamis, 25 Juni 2015
− 10:14 WIB).
Produk fashion yang inovatif
tentu saja mempertimbangkan aspek kekinian dan kebaruan desainnya, mempunyai
ide yang segar dan breakthrough , tetapi tetap menggunakan ‘consumer’ head saat
proses penyelesaian karyanya. Menggabungkan ego dari seorang desainer dan
pemahaman audiens memang bukan sesuatu yang sederhana, ka-renanya tidak semua
orang bisa menembus batas, membuat karya yang memenuhi kaidah ‘cool’, tetapi
juga diminati dan digunakan. Bekerja sama dengan seorang ethnographer merupakan
cara tercepat untuk memahami apresiasi consumer behavior. Insights tentang
consumer/ audiens bisa digali secara lebih mendalam dan multidimensi. (Sindo
: Kamis, 25 Juni 2015 −
10:14 WIB).
Nasihat saya untuk pengelola
kota, silakan datang dan lihat sendiri bagaimana batu tersebut di-display di
tempat yang sangat memungkinkan untuk diduduki. Para desainer dan arsitek harus
memahami kultur budaya, lalu mengadopsinya, bukan memeranginya.
(Sindo : Kamis, 25 Juni 2015
− 10:14 WIB).
Dari cerita diatas saya
mendapatkan gambaran yang terjadi di dalam pengelolaan sebuah media sosial dan
pengelola sebuah fasilitas umum yang terpenting
dalam membuat sebuah produk baru adalah
bagaimana kita mempelajari constumer behavior. Menjadi pengelola media
sosial jangan otoritatif di era crowd sourching karena yang dibutuhkan saat ini
adalah seorang pengelola media sosial yang mengerti bagaimana menjadi Crowd
Leader. Mengelola Crowd- nya dengan baik. Gaya otoriter harus diganti dengan
gaya one-of-us. Sudah waktunya meninggalkan gaya brand yang merupakan Center of
the World . Kita harus paham bahwa saat ini di era crowd sourcing , brand harus
mengubah dirinya menjadi ‘Center of the Crowd’ . (Sindo : Kamis, 25 Juni 2015
− 10:14 WIB).
Link Asli Tulisan Ibu Etno Amalia